Friday, February 27, 2009

Semakin tak berharga

Uang, kita semua tau bahwa uang bukanlah segalanya, tapi uang dapat membeli hampir segalanya. Philosophy inilah yang paling sering digunakan oleh para MLM-ers, para bisnismen yang sibuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya dengan memberikan dunia di hati dan tangan mereka.

Tapi saya tidak akan membahas mengenai MLM kali ini, melainkan saya akan membahas mengenai uang itu sendiri sebagai alat jual-beli atau lebih tepatnya sebagai sebuah alat pertukaran.

Prehistoric
Pada jaman prehistoric, halah susah bahasanya! Pokoknya jaman baheula banget, ketika kita menginginkan sesuatu, maka kita harus menukarnya dengan sesuatu yang lain yang kita punya yang memiliki nilai yang sama. Misalnya ada yang punya baju, lalu kita mau baju tersebut, maka kita harus menukarnya dengan sesuatu yang kira-kira sama nilainya, misalnya dengan beras 3kg.

Inilah yang disebut sistem Barter.

Sistem ini terus berlangsung hingga ditemukannya logam mulia seperti besi, kuningan, tembaga, emas dan perak. Dengan berjalannya waktu, hanya emas dan perak yang dapat digunakan sebagai alat pertukaran universal. Dalam Islam Emas dan Perak ini dikenal sebagai Dinar dan Dirham, yang ditetapkan sebagai alat pertukaran dalam Daulah Islamiyah.

Sampai di bahasan ini, dapat dikatakan bahwa alat pertukaran yang digunakan masih memiliki nilai yang pasti dan tetap. Artinya, jika 1 Dinar bisa digunakan untuk membeli 1 atau 2 ekor kambing (tergantung besarnya), maka nilai ini akan tetap seperti itu sampai kapanpun adanya. Atau bahkan ketika dengan 1/4 Dinar kita sudah bisa memberi makan satu keluarga, maka sampai kapanpun 1/4 Dinar tetap menjadi batasan memberi makan satu keluarga.

Modern Days
Karena Emas dan Perak adalah merupakan barang tambang yang tidak selalu ada di setiap daerah, maka daerah-daerah miskin emas dan perak seperti Eropa dan Amerika berlomba-lomba mencari emas ke daerah-daerah yang belum terjamah seperti ASIA dengan agenda Gold, Glory dan Gospel-nya yang merupakan kedok dari penjajahan.

Gagal dengan penjajahan, alat pertukaran pun diubah. Tidak perlu Emas atau Perak yang terbatas jumlahnya, tetapi digantikan oleh sesuatu yang tidak terbatas dan tidak akan habis jumlahnya yaitu Kertas yang dapat diproduksi dari kayu. Jadilah uang kertas.

Uang kertas inilah yang dapat diproduksi secara berlebih dan gila-gilaan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Awalnya uang kertas (oke! uang logam juga deh!) masih ditopang dengan emas, artinya, setiap nominal yang tertera di atasnya masih dapat dikonversi ke-emas dengan nilai yang sama dan tetap. Untuk itulah awalnya untuk mencetak uang, harus melihat cadangan emas yang tersimpan terlebih dahulu.

Tapi akhirnya karena Eropa dan Amerika benar-benar tidak memiliki cadangan emas dan perak yang cukup, mereka meng-opini-kan pada dunia bahwa emas dan perak adalah masa lalu, masa kini adalah dolar dan poundsterling. Disini yang menang tentulah Amerika, oleh karena itu Indonesia dengan sukarela mengkonversi cadangan emas dan peraknya ke dolar Amerika (USD).

Jangan heran kalau dari tahun ke tahun selalu terjadi inflasi, karena pada dasarnya dolar selalu ditarik dari peredarannya di pasaran sehingga harganya pun naik yang berakibat diiringi oleh naiknya harga-harga barang yang berakibat juga pada semakin tidak berartinya uang.

Mari kita simulasikan, dari dulu selembar kertas memiliki nilai yang sangat kecil sampai ia dijadikan sebagai mata uang. Jadi, dari dulu sampe sekarang selembar kertas nyaris tidak bisa di tukar oleh apapun hingga dipaksakan memiliki nilai tukar dengan mencantumkan angka diatasnya. Makanya ketika dolar ditarik dari peredarannya, uang ini seakan tidak sanggup mempertahankan harganya, berbeda dengan emas yang akan tetap memiliki nilai tukar yang sama ada atau tidak adanya dolar.

Coba bandingkan harga kambing tahun 2009 dan harga kambing tahun 1999 kemudian konversikan ke harga emas di masing-masing tahun, dapat dipastikan bahwa harganya tetap berkisar di 1-2 Dinar.

Kita ambil contoh lain, dulu kerupuk putih biasa nyaris tidak ada harganya, kita bisa beli 4 hanya Rp. 25 perak, kemudian naik menjadi 50 perak, 100 perak, 500 perak, 1000 perak, hinga 1000 perak per satu kerupuk!


Post-Modernisme
Seakan tidak puas dengan mencampakkan emas dan perak, diciptakanlah bank dengan dalih sebagai alat penyimpanan yang aman.

Dengan bank, kekayaan kita hanyalah sekumpulan angka diatas kertas kosong tanpa bisa di indera kecuali dengan mata. Artinya kita tidak dapat membelanjakan uang kita dengan menjadikan buku tersebut sebagai alat tukar.

Lebih parahnya, buku pun digantikan dengan ATM sebagai alat mengambil uang. Kartu plastik PVC biasa bisa di tukar dengan uang?

Tambah parah sekarang BCA mengeluarkan Flash dengan propaganda "Bentuk baru uang anda". Jadi dengan kartu PVC itu tinggal tempel langsung angka di bank kita berkurang. Makin tidak berharga kan?

Bingung deh...
Gak usah pake bingung. Ilustrasi sebenarnya sih, andaikata Flash laku keras hingga seluruh orang di Indonesia pake Flash. Lalu suatu saat seluruh sistem BCA mati ATAU kita pergi keluar negeri naek pesawat terus kecelakaan terdampar di suku pedalaman AMAZON, pada saat itu, apakah Kartu Kredit, ATM, atau bahkan Flash kita bisa digunakan? Bahkan jika kita mempunyai uang 1 billiun pun? Saat itu, uang pun sudah menjadi tidak berharga.

No comments: