Saturday, June 06, 2009

Puisi yang aneh . . .


Harian Kompas,Rabu 20 Mei 2009

andai aku bukan seorang Indonesia

Maka tak usahlah aku peduli dengan apa yang terjadi di negeri ini, 101 tahun lalu, sekarang, atau bahkan seribu tahun lagi.

Andai aku bukan seorang Indonesia maka aku tak perlu peduli dengan semua yang kulihat di jantung negeri ini, di Grand Indonesia Shopping Town. Masa bodoh dengan semua barisan mahakarya yang berdiri di jalan M.H. Thamrin No. 1 itu.

Masa bodoh dengan menara BCA-nya yang menggapai mega-mega angkasa atau Grand Indonesia Shopping Mall yang menjanjikan seribu satu pengalaman baru atau Kempinski Private Residences yang menghembuskan pesona keindahan nan abadi.

Andai aku bukan seorang Indonesia, aku takkan ambil pusing dengan kebesaran Hotel Indonesia simbol kebanggaan sejarah yang dibangun dengan semangat kebangkitan negeri ini.

Tapi aku adalah seorang Indonesia yang pada hari ini bergetar hebat hatinya saat melihat kebanggaan kami, Hotel Indonesia Kempinski sebagai bagian dari Grand Indonesia Shopping Town, selesai di pugar dan dibuka kembali untuk mengumandangkan kejayaan Indonesia Raya.

Aku adalah seorang Indonesia yang bangga melihat negeriku tak pernah takluk oleh zaman. Dan aku percaya bahwa sekecil apapun yang aku lakukan pada negeriku, akan membuat bangsaku semakin besar.



Itulah yang terpampang satu halaman penuh di surat kabar Kompas Rabu, 20 Mei 2009.

Lalu anehnya ada di mana? Mari kita bahas satu per satu.

Maka tak usahlah aku peduli dengan apa yang terjadi di negeri ini, 101 tahun lalu, sekarang, atau bahkan seribu tahun lagi.

Aku perduli dengan Indonesia, oleh karenanya aku belajar mencintai produksi-produksi dalam negerinya sebagai kekayaan yang tak tergantikan. Aku perduli, dengan Indonesia saat ini dan seribu tahun lagi, oleh karenanya aku selalu membuka mata dan hati untuk mencari dimana sebetulnya kesalahan bangsa ini sehingga bangsa yang begitu kaya, sekarang malah terpuruk sedemikian dahsyatnya.

Andai aku bukan seorang Indonesia maka aku tak perlu peduli dengan semua yang kulihat di jantung negeri ini, di Grand Indonesia Shopping Town. Masa bodoh dengan semua barisan mahakarya yang berdiri di jalan M.H. Thamrin No. 1 itu.

Aku perduli dengan Indonesia, dan aku perduli dengan semua yang kulihat di Grand Indonesia, disana yang aku lihat hanya produk-produk dari luar negeri, dan hanya beberapa saja yang produk dalam negeri. Maha karya yang kulihat bukanlah tentang Indonesia, tetapi tentang New York, Texas, Broadway, yang sanggup membuat saya lupa dengan kekayaan negeri ini.

Masa bodoh dengan menara BCA-nya yang menggapai mega-mega angkasa atau Grand Indonesia Shopping Mall yang menjanjikan seribu satu pengalaman baru atau Kempinski Private Residences yang menghembuskan pesona keindahan nan abadi.

Saya orang Indonesia, dan saya tidak masa bodoh dengan menara BCA-nya, atau Grand Indonesia Shopping Mall ataupun Kempinski Private Recidences nya, dimana ketika saya mau ke menara BCA atau Grand Indonesia, saya harus meninggalkan sendal jepit kesayangan saya di rumah, mengganti kaos kesayangan saya yang sudah berumur 7 tahun dengan sebuah kemeja, dan menjadi seseorang yang bukan saya hanya untuk merasa pantas berada di sana. Saya sangat perduli dengan Kempinski Private Recidences nya yang saya tidak bisa menikmati secuil saja keindahan dan kemegahannya hanya karena saya tidak memiliki cukup uang untuk itu.

Andai aku bukan seorang Indonesia, aku takkan ambil pusing dengan kebesaran Hotel Indonesia simbol kebanggaan sejarah yang dibangun dengan semangat kebangkitan negeri ini.

Tapi aku adalah seorang Indonesia yang pada hari ini bergetar hebat hatinya saat melihat kebanggaan kami, Hotel Indonesia Kempinski sebagai bagian dari Grand Indonesia Shopping Town, selesai di pugar dan dibuka kembali untuk mengumandangkan kejayaan Indonesia Raya.

Hati ini bergetar sangat hebat ketika melihat kemegahannya, kemegahan yang dibangun dari uang rakyat, dari pajak yang dipungut dariku dan 200 juta lebih masyarakat Indonesia, bahkan harus dengan berhutang keluar negeri, tetapi tidak bisa dinikmati oleh setiap dari kita, hanya mereka yang kaya saja yang bisa menikmatinya, sementara kami?
Hati ini bergetar hebat melihat kemegahannya karena meskipun bernama Grand Indonesia, tetapi sudah bukan milik negara kita lagi. Sedih rasanya jika mengingat bahwa Grand Indonesia dibangun dari uang rakyat, tetapi kemudian dijual kepada swasta.
Hati ini bergetar hebat melihat bagaimana ratusan karyawan dipecat ketika mereka mempertahankan mati-matian Hotel Indonesia agar tetap menjadi milik bangsa.
http://www.detiknews.com/read/2009/05/18/114023/1133198/10/mantan-karyawan-demo-tolak-peresmian-hi

Aku adalah seorang Indonesia yang bangga melihat negeriku tak pernah takluk oleh zaman. Dan aku percaya bahwa sekecil apapun yang aku lakukan pada negeriku, akan membuat bangsaku semakin

Aku adalah orang Indonesia, aku bangga karenanya, tetapi hatiku telah hancur berkeping-keping melihat saudara-saudaraku di pinggiran Grand Indonesia berkubang dengan kemiskinan, sementara di depan mereka ada sebuah monumen konsumerisme dan liberalisme yang begitu megah berdiri yang dibangun dari setiap rupiah pajak yang mereka bayarkan.
Hatiku hancur berkeping-keping ketika melihat begitu banyak uang yang dihamburkan untuk membangun monumen konsumerisme dan liberalisme dari uang rakyat, tetapi diperuntukkan hanya untuk sebagian golongan saja.
Hati ini hancur ketika memikirkan bagaimana setiap rupiah yang diperoleh harus disetorkan kepada Kempinski Principal yang artinya devisa kita akan banyak menguap ke luar negeri dan akan mengakibatkan tambahan beban inflasi bagi rakyat.

AAAArgh, aku tak tahu lagi, aku orang Indonesia, tapi aku tidak bangga dengan segala yang ada pada Grand Indonesia!!!

No comments: