Monday, December 08, 2008

Haji Pertama Dan Terakhir

Hari ini menjelang akhir tahun ke-10 Hijriah, lebih 14 abad silam. Panas dan udara gurun yang kering tetap tidak berubah, sementara kehidupan Nabi yang sangat produktif itu makin mendekati garis finish. Sebelum berpisah, Nabi mengundang umatnya di Madinah untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah secara sempurna, tanpa seorang musyrik pun terlibat di dalamnya. Ziarah ke Rumah Tuhan dan daerah sekitarnya, yang kemudian dipraktikkan selamanya di kemudian hari. Ziarah yang murni islami ini dimaksudkan pula sebagai ‘Haji Perpisahan’ atau haji al-wada’, menandai hasil akhir karir gemilang yang tidak ada duanya dari makhluk Tuhan paling sempurna.

Undangan Nabi mendapat respon luar biasa. Inilah haji pertama Nabi bersama-sama muslim. Untuk pertama kali pula sejarah mencatat pemandangan lebih 100.000 manusia, laki-laki dan perempuan, berkumpul di Madinah menyertai Nabi, sekaligus haji terakhir sebelum beliau kembali ke pangkuan Al-Khaliq. Pada 25 Dzulkaidah rombongan berangkat. Setelah menginap satu malam di Dhul-Hulaifa, esoknya Nabi mengenakan pakaian ihram diikuti seluruh anggota rombongan. Mereka berjalan bersama-sama dengan pakaian putih yang sederhana, perlambang kesederhanaan dan persamaan yang amat jelas.

Dengan seluruh kalbu Muhammad menengadahkan wajahnya kepada Tuhan sembari mengucapkan takbiah sebagai tanda syukur atas nikmat karunia Nya diikuti kaum muslimin di belakangnya: “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika. Alhamdulillah wa-ni’matu wa’sysyukru laka labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika.” (Aku datang memenuhi panggilan Mu, Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan Mu. Tiada sekutu bagi Mu …. Labbaik, aku datang memenuhi panggilan Mu. Segala puji, kenikmatan dan syukur, hanya bagi Mu …. Labbaik, aku datang memenuhi panggilan Mu).

Di bawah sengatan matahari gurun, di padang pasir yang tidak dikenal banyak umat, bergerak arus manusia dan kafilah menuju satu titik. Mereka menyambut panggilan Nabi Ibrahim beberapa abad silam. Tidak ada peristiwa yang membedakan seseorang dengan lainnya. Tidak pula perbedaan ras, bangsa atau warna kulit. Sesungguhnya, inilah pemandangan paling indah tentang asas persamaan bahwa semua makhluk sama di depan Tuhan. Yang membedakan, hanya kadar iman dan takwa seseorang.

Mereka memenuhi seruan Nabi untuk saling mengenal, merajut kasih sayang, keikhlasan hati dan semangat ukhuwah islamiah. Dengan penuh kesabaran pula mereka menanti tibanya Haji Akbar, dan rasa rindu bertemu Baitullah, dengan jantung berdegup keras. Sementara dunia dan sejarah menatap kagum dan heran. Dan, sejarah ibarat kakak tua yang selalu terbelenggu argumentasinya. Ia sang pembual yang membacakan Hikayat Fir’aun, Kisra, kaisar dan aristokrat yang culas. Ia penjilat dan pembohong besar yang bercerita tentang tahta, pertempuran atau perdamaian, tanpa secuil pun di usianya yang panjang itu, memihak kepada kaum miskin, papa dan tertindas. Karena itu sejarah melihat takjub kepada Nabi dan orang yang bersamanya, bertaut rasa kagum dan heran.


Haji Perpisahan


Pada 4 Dzulhijjah rombongan masuk Makkah, selanjutnya menuju Ka’bah. Muhammad datang kepada Tuhannya di hari-hari akhir hayatnya, di Maqam Ibrahim, bapak agama langit dalam sejarah umat manusia, untuk mempertanggungjawabkan hasil karya dan perjuangannya yang penuh dinamika. Dihadapan Nya pula dia meminta kesaksian kepada umat manusia bahwa dia tidak pernah berhenti bekerja, dan tak kenal lelah dalam berjuang menuntaskan risalah Nya. Dia juga memperlihatkan kepada Ibrahim, karya besar yang diawalinya, kini diantarkannya hingga batas tersebut dan digerakkannya sesuai pedoman yang digariskan.

Sesudah tawaf, Nabi shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, lalu mencium Hajar Aswad untuk kedua kalinya. Kemudian menghadapkan wajahnya ke arah Shafa, lalu lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah. Di situ dimaklumatkan barangsiapa yang tidak membawa hadyu (ternak kurban untuk disembelih) hendaknya mengakhiri ihramnya (tahallul) dan menjadikan ibadah itu sebagai umrah.

Hari ke-8 Zulhijjah yaitu Hari Tarwiyah, beliau pergi ke Mina bersama rombongannya. Selama satu hari melakukan shalat dan tinggal bersama kaumnya. Malamnya di saat sang fajar menyembul setelah Shalat Subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’ tatkala matahari mulai tampak, beliau menuju Gunung Arafat. Dalam perjalanan yang diikuti ribuan muslim yang mengucapkan talbiah dan bertakbir, Nabi mendengarkan dan membiarkan mereka dalam kekhusyuan.

Ketika sampai di perut wadi di bilangan Urana, masih di atas unta, Nabi berdiri dan berkhutbah di depan lebih 100.000 orang yang mengelilinginya. Itulah peristiwa bersejarah yang dikenal dengan julukan ‘haji Perpisahan’. Peristiwa yang begitu mengesankan dan indah, serta merupakan khulasha (kesimpulan) ajaran Islam dan sunnahnya yang ia wariskan kepada masyarakat Islam. Khutbah berlangsung di bawah panas matahari yang mampu membakar ubun-ubun, dan didengarkan dengan khidmat. Kepada Umayyah bin Rabi’ah bin Khalaf diminta mengulang keras setiap kalimat yang beliau sampaikan, agar didengar di tempat yang jauh.


Pesan Penting Khutbah Perpisahan

“Wahai manusia sekalian, dengarkanlah perkataanku ini, karena aku tidak mengetahui apakah aku dapat menjumpaimu lagi setelah tahun ini di tempat wukuf ini.

(1) larangan membunuh jiwa dan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang hak

Wahai manusia sekalian,

Sesungguhnya darah kamu dan harta kekayaan kamu merupakan kemuliaan ( haram dirusak oleh orang lain ) bagi kamu sekalian, sebagaimana mulianya hari ini di bulan yang mulia ini, di negeri yang mulia ini.

(2) kewajiban meninggalkan tradisi jahiliyah : pembunuhan , riba

Ketahuilah sesungguhnya segala tradisi jahiliyah mulai hari ini tidak boleh dipakai lagi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara kemanusiaan (seperti pembunuhan, dendam, dan lain-lain) yang telah terjadi di masa jahiliyah, semuanya batal dan tidak boleh berlaku lagi. (Sebagai contoh) hari ini aku nyatakan pembatalan pembunuhan balasan atas terbunuhnya Ibnu Rabi’ah bin Haris yang terjadi pada masa jahiliyah dahulu.

Transaksi riba yang dilakukan pada masa jahiliyah juga tidak sudah tidak berlaku lagi sejak hari ini. Transaksi yang aku nyatakan tidak berlaku lagi adalah transaksi riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya seluruh transaksi riba itu semuanya batal dan tidak berlaku lagi.

(3) mewaspadai gangguan syaitan dan kewajiban menjaga agama

Wahai manusia sekalian,

Sesungguhnya syetan itu telah putus asa untuk dapat disembah oleh manusia di negeri ini, akan tetapi syetan itu masih terus berusaha (untuk menganggu kamu) dengan cara yang lain . Syetan akan merasa puas jika kamu sekalian melakukan perbuatan yang tercela. Oleh karena itu hendaklah kamu menjaga agama kamu dengan baik.

(4) larangan mengharamkan yang dihalalkan dan sebaliknya

Wahai manusia sekalian,

Sesungguhnya merubah-rubah bulan suci itu akan menambah kekafiran. Dengan cara itulah orang-orang kafir menjadi tersesat. Pada tahun yang satu mereka langgar dan pada tahun yang lain mereka sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang telah ditetapkan kesuciannya oleh Allah. Kemudian kamu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkanNya.

Sesungguhnya zaman akan terus berputar, seperti keadaan berputarnya pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan-bulan suci. Tiga bulan berturut-turut : Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab adalah bulan antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban.

(5) kewajiban memuliakan wanita (isteri)

Takutlah kepada Allah dalam bersikap kepada kaum wanita, karena kamu telah mengambil mereka (menjadi isteri) dengan amanah Allah dan kehormatan mereka telah dihalalkan bagi kamu sekalian dengan nama Allah.

Sesungguhnya kamu mempunyai kewajiban terhadap isteri-isteri kamu dan isteri kamu mempunyai kewajiban terhadap diri kamu. Kewajiban mereka terhadap kamu adalah mereka tidak boleh memberi izin masuk orang yang tidak kamu suka ke dalam rumah kamu. Jika mereka melakukan hal demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Sedangkan kewajiban kamu terhadap mereka adalah memberi nafkah, dan pakaian yang baik kepada mereka.

Maka perhatikanlah perkataanku ini, wahai manusia sekalian..sesungguhnya aku telah menyampaikannya..

(6) Kewajiban berpegang teguh pada Al Qur’an dan as Sunnah

Aku tinggalkan sesuatu bagi kamu sekalian. Jika kamu berpegang teguh dengan apa yang aku tinggalkan itu, maka kamu tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah Kitab Allah (Al-Quran) dan sunnah nabiNya (Al-Hadis).

(7) kewajiban taat kepada pemimpin siapapun dia selama masih berpegang teguh pada al Qur’an

Wahai manusia sekalian..dengarkanlah dan ta’atlah kamu kepada pemimpin kamu , walaupun kamu dipimpin oleh seorang hamba sahaya dari negeri Habsyah yang berhidung pesek, selama dia tetap menjalankan ajaran kitabullah (Al- Quran) kepada kalian semua.

(8) Kewajiban berbuat baik kepada hamba sahaya

Lakukanlah sikap yang baik terhadap hamba sahaya. Berikanlah makan kepada mereka dengan apa yang kamu makan dan berikanlah pakaian kepada mereka dengan pakaian yang kamu pakai. Jika mereka melakukan sesuatu kesalahan yang tidak dapat kamu ma’afkan, maka juallah hamba sahaya tersebut dan janganlah kamu menyiksa mereka.

(9) Umat Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain

Wahai manusia sekalian.

Dengarkanlah perkataanku ini dan perhatikanlah.

Ketahuilah oleh kamu sekalian, bahwa setiap muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, dan semua kaum muslimin itu adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan senang hati yang telah diberikannya dengan senang hati. Oleh sebab itu janganlah kamu menganiaya diri kamu sendiri.

(10) kewajiban menyampaikan khutbah Rosulullah saw kepada yang lain

Ya Allah..sudahkah aku menyampaikan pesan ini kepada mereka..?

Kamu sekalian akan menemui Allah, maka setelah kepergianku nanti janganlah kamu menjadi sesat seperti sebagian kamu memukul tengkuk sebagian yang lain.

Hendaklah mereka yang hadir dan mendengar khutbah ini menyampaikan kepada mereka yang tidak hadir. Mungkin nanti orang yang mendengar berita tentang khutbah ini lebih memahami daripada mereka yang mendengar langsung pada hari ini.

Kalau kamu semua nanti akan ditanya tentang aku, maka apakah yang akan kamu katakan ? Semua yang hadir menjawab : Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan tentang kerasulanmu, engkau telah menunaikan amanah, dan telah memberikan nasehat. Sambil menunjuk ke langit, Nabi Muhammad kemudian bersabda : ” Ya allah, saksikanlah pernyataan mereka ini..Ya Allah saksikanlah pernyatan mereka ini..Ya allah saksikanlah pernyataan mereka ini..Ya Allah saksikanlah pernyatan mereka ini ” [Hadis Bukhari dan Muslim].



Berakhirlah Haji Wada’.Kemudian Nabi meninggalkan Makkah menuju Madinah. Beliau tinggalkan pesan-pesan yang sangat penting kelak tetap hidup sepanjang sejarah. Esensi khutbah Nabi yang takkan terlupakan, yang senantiasa bergema dan menghunjang ke seluruh hati sanubari dan jiwa umat Islam yang telah memberikan nama ‘al-Islam’ kepada agama Tauhid yang dibawa Muhammad bin Abdullah ialah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agamamu.” (QS al-Maaidah: 3).

Nabi telah menyelesaikan akhir karya besarnya, yang gigantik, risalahnya yang penting bagi dunia dan umat manusia. Tokoh terbesar sepanjang sejarah itu membaringkan kepalanya untuk selama-lamanya. Beliau wafat di tengah pendukungnya yang setia, penuh ketenteraman dan dengan ruh yang penuh taufiq untuk bertemu Kekasihnya dalam desah nafas terakhir. Ya, keharibaan Yang Maha Tinggi di surga.
 
 
 

A Mirror

Haji adalah rukun iman yang terakhir, yang kelima, yang diperuntukkan hanya bagi yang mampu. Mampu secara marteriil, mampu secara fisik, maupun mampu secara psikologi.

Setiap muslim sejatinya memiliki kerinduan mendalam untuk segera berkunjung ke Baitullah. Bercita-cita untuk menjadi tamu Allah meskipun sekali seumur hidup kita. Bahkan bagi yang pernah kesana, ingin segera kembali menjadi tamu Allah.

Tapi pernahkah kita sadar, apa tujuan kita berhaji? Untuk sekadar mendapatkan titel haji? Yang dengan titel tersebut kita menjadi dihormati masyarakat hingga mendapat banyak panggilan ceramah?

Pernahkah kita berfikir, bahwa haji adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban atas kehidupan kita, seperti Rasulullah SAW mempertanggung jawabkan hasil kerja keras beliau yang tiada kenal henti dan tiada kenal lelah?

Sudahkah kita siap berhadapan dengan Allah SWT untuk sanggup berkata "Ya Allah, aku sudah melakukan ini, aku sudah melakukan itu, semua demi keagungan Agama-Mu, semua demi kecintaanku kepada Rasul-Mu, semua hanya karena kecintaanku kepada-Mu, Ya Allah"? [zq]

Referensi

No comments: