Monday, April 11, 2011

Rela Gadaikan Citra, Pasti Ada Apa-apa

Jakarta - Marzuki Alie benar-benar ngotot. Ia terus pasang badan dan tetap berkeras agar pembangunan Gedung DPR dilanjutkan. Semua nasihat bahkan protes keras tidak digubrisnya. Usulan survei untuk mengetahui respon masyarakat pun ditolak mentah-mentah.

"Ini cuma orang-orang yang elite yang paham yang bisa membahas ini, rakyat biasa nggak bisa dibawa. Kalau rakyat biasa dibawa pusing pikirannya," kata Marzuki.

Tentu saja Marzuki panen kritik. Tapi ya Ketua DPR itu tetap  tidak peduli. Bahkan nasihat Presiden SBY agar pembangunan gedung yang akan menghabiskan dana Rp 1,1 triliun lebih itu ditunda untuk efisiensi anggaran pun tidak dihiraukan.

Dalam rapat konsultasi pimpinan DPR, Marzuki memberi opsi setuju atau tidak setuju. Hasilnya, rapat pada 7 April 2011 itu memutuskan pembangunan dilanjutkan. Hanya  PAN dan Gerindra yang menolak.

Marzuki juga menjilat janjinya sendiri. Sebelumnya ia menyatakan pembangunan gedung DPR bisa dibatalkan bila ada satu fraksi yang menolak. Tapi meski dua fraksi menolak, politisi Partai Demokrat itu tetap memutuskan pembangunan gedung DPR itu harus diteruskan.

Marzuki tentu tidak sendirian. Para wakil pimpinan DPR, misalnya Anis Matta dan Priyo Budi Santoso pun seia sekata dengan Marzuki. Para pimpinan DPR itu bulat sepakat pembangunan harus dilanjutkan.

Sikap ngotot itu tentu saja menerbitkan tanda tanya. DPR yang merupakan wakil rakyat bisa begitu tuli dengan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Bahkan mereka rela citranya hancur demi tetap berlanjutnya pembangunan gedung tempat mereka bertugas. Ada apa ini?

"Sampai rela citranya buruk, rela dicaci maki asalkan nafsu untuk membangun gedung baru tetap terjadi. Mungkin ada deal,  atau ada janji yang sudah terlanjur dibuat dengan pihak tertentu," kritik Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Tentunya ada kepentingan yang melatarbelakangi kengototan Marzuki Alie cs itu. Kecurigaan Marzuki cs memetik keuntungan besar atas pembangunan tersebut pun muncul. Akhir-akhir ini misalnya beredar SMS yang isinya menyatakan sejumlah perusahaan peserta tender telah memberikan uang muka untuk proyek gedung DPR.

Menurut informasi dari sumber detikcom di DPR, SMS tersebut berisi informasi pemberian uang jadi pembangunan gedung baru DPR dari dua perusahaan peserta tender pembangunan gedung baru DPR. Untuk diketahui proses tender pembangunan gedung baru DPR sedang berlangsung. Peserta tender berasal dari sejumlah perusahaan besar antara lain PT PP, PT Adhi Karya, dan PT Wika.

SMS ini makin memperkuat kecurigaan ada uang kotor di balik kengototan DPR. Para pimpinan DPR tentu saja membantah menerima uang. Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso misalnya menyatakan SMS itu ttanpa fakta. "Saya pastikan itu tidak ada," tepis Priyo.

Tapi bantahan itu tidak menghilangkan kecurigaan orang. Terlebih sebelumnya sudah banyak preseden anggota DPR terlibat kasus korupsi. Sebut saja yang terakhir 22 mantan anggota DPR ditahan KPK terkait kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom. Juga kasus Abdul Hadi yang ditangkap KPK terkait suap proyek pembangunan dermaga di Indonesia bagian timur. Kemudian juga proyek renovasi rumah DPR RI di Kalibata senilai Rp 445 miliar yang diduga di-mark up.

"Bisa saja SMS itu benar karena modus tersebut pernah terjadi. Yang jadi masalah karena sampai saat ini memang belum ada bukti ataupun wistleblower yang mengungkap," kata peneliti Korupsi Politik ICW Apung Widadi.

Meski masih sulit mengungkap soal cipratan duit ke pimpinan DPR, indikasi adanya korupsi sudah tercium. Aliansi LSM melaporkan indikasi korupsi tersebut ke KPK. Indikasi korupsi itu antara lain tentang ketidakjelaskan penggunaan Rp 14 miliar yang sudah kleuar.

"Ada pengeluaran yang tidak rasional, misalnya anggaran untuk membuat grand desain itu lebih kecil daripada anggaran untuk mengkaji atau menurunkan volume gedung dari 36 lantai menjadi 27 lantai. Untuk penurunan lantai ini biayanya Rp 4 miliar, sementara untuk grand desain Rp 1,8 miliar," ulas Sebastian yang mewakili Formappi, yang tergabung dalam aliansi LSM yang melapor ke KPK.

Sementara FITRA menyoroti kejanggalan dalam usulan harga pembangunan gedung. Awalnya nilai pembangunan diusulkan itu Rp 1,8 triliun. Setelah dikritik masyarakat, turun menjadi Rp 1,6 triliun. Lalu turun lagi menjadi Rp 1,3 triliun dan terakhir turun menjadi Rp 1,1 triliun.

"Ini ada indikasi kuat oknum-oknum pemburu rente dalam pembangunan gedung," kata Sekretaris Nasional FITRA Yuna Farhan. Yang perlu dicurigai terkait indikasi korupsi itu, menurut FITRA, selain pimpinan DPR sebenarnya adalah Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Sekretariat Jenderal DPR.

No comments: