Tuesday, May 06, 2008

Piramida Pelacuran Nasional

Dapet lagi baru dari sini juga.

Selengkapnya:

Seorang pemuda berusaha ngobrol dengan seorang gadis cantik yang baru dikenalnya di bis kota:

Cowok :”Eh begini, aku boleh cium kamu ndak?”
Cewek :”KURANG AJAR! Gak mau lah, capek deeh”

Cowok :”Kalau aku kasih duit 1 milyar, aku boleh cium kamu?”
Cewek :*melirik sinis* “Yah, kalau kamu punya uangnya, boleh saja”.

Cowok :”hmm.. kalau cuma ada 50 ribu boleh cium?”
Cewek :”KAMU PIKIR AKU PELACUR?”
Cowok: “Lho, kamu tadi sudah jawab boleh cium kalau ada uangnya kan? berarti sekarang tinggal masalah tawar menawar saja tho. 100 ribu boleh?”.

***

Aku tumbuh besar di sebuah desa di Jogja, jauh dari pusat keramaian dan pusat pemerintahan. Karena didominasi kehidupan petani, kehidupan berjalan dengan santai dan damai. Walau begitu, sudah menjadi cita-cita hampir semua anak (dan orang tuanya) untuk menjadi pegawai negeri, polisi, tentara atau apapun yang berseragam dan digaji negara.

Sudah menjadi pengetahuan umum di desaku, bahwa untuk menjadi ‘apapun yang berseragam’ itu, perlu banyak biaya. Untuk jadi polisi perlu 25-40 juta, untuk jadi pegawai kabupaten perlu 10-20 juta, dan seterusnya. Biaya bisa bervariasi tergantung kekuatan ‘orang dalam’ tempat anak-anak petani itu dititipkan. Bagi para petani, ‘uang tiket’ sebesar itu berati sawah beberapa ribu meter yang didapat dari warisan harus dijual.

Pengorbanan menjual sawah dihitung-hitung tidak rugi untuk masa depan sang anak supaya jadi ‘orang’, lagipula sawah sudah tidak memberi keuntungan lagi. Pupuk mahal, tikus merajalela, harga gabah murah. Dan sebagian besar memang mereka tidak menyesal, setelah beberapa tahun anak-anak mereka sudah bisa membeli RX-King, membangun rumah yang cukup bagus, dan tentu saja berseragam. Oh iya, waktu itu belum musim honda Tiger dan Bajaj Pulsar.

Regenerasi Pelacuran Kekuasaan

Anak-anak petani tadi akan duduk satu meja, berdiri satu lapangan, menghormat ke satu pembina upacara, dan mengantri satu loket gaji dengan ribuan orang lainnya di pemerintahan. Loket gaji yang membuat mereka sadar bahwa uang tiket mereka tidak sebanding dengan gaji mereka. Perlahan-lahan -secara massal, dan terstruktur- akan diajarkan bagaimana agar segera balik modal.

Caranya bermacam-macam, meminta uang dari masyarakat, memberi setoran ke atasan agar cepat naik pangkat, dan lain-lain.

Istilah Pelacuran sepertinya terlalu kasar, tapi pada intinya begitu.
- Sudah, nggak usah ikut sidang tilang. Bisa nitip lewat saya, 25 ribu saja.
- Kamu bisa dapat KTP, tapi bayar 250 ribu.
- Ndak usah repot-repot ikut ujian, bayar saja 300 ribu, nanti SIM tinggal foto.
- Kamu bisa naik pangkat tapi harus setor 40 juta.
- Kamu bisa jadi kepala bagian, tapi harus setor 50 juta.
- Pesawat yang patah mau saya cat dulu, kamu butuh berapa agar bilang ke wartawan kalau ini ‘nggak menyalahi aturan’?
- Kamu bisa tetep dapat subsidi 60juta/tahun/praja, tetap bisa jadi staf kabupaten kalau kamu tutup mulut tentang teman2-mu yang mati dipukuli.
- Sebelum bapak kasih laporan tentang hasil investigasi di Kampus saya, ini ada sedikit uang saku buat keluarga di rumah.

Ini tidak bisa dihentikan. Sistemnya sudah terlalu kuat, karena sudah merasuk ke alam bawah sadar masing-masing member, dan sudah merasuk ke alam bawah kantong anak istri mereka di rumah. Saat sudah terbiasa berpenghasilan -misalnya- 10juta/bulan (hasil melacur), susah kalau harus hidup biasa dengan gaji 1.5juta/bulan.

Karena terstruktur, terorganisir, serta rapinya sistem doktrinasi pelacuran ini, sampai-sampai saat ada orang luar yang mau membantu menyelamatkan malah dituduh memojokkan, menyerang, atau memberitakan secara tidak berimbang.

Bahkan, karena saking kuat pengaruh saling melacur di lingkungan pemerintahan ini, masyarakat sampai ikut terdoktrinasi.

Tidakkah kalian lihat, bahwa sistem aliran uang di lembaga-lembaga itu mempunyai rantai-DNA yang sama dengan arisan berantai, MLM ngawur, dan skema investasi via ATM, ataupun sistem-sistem piramida pembunuh massal lainnya.

***

Aku tahu, banyak orang yang tidak menganggap dicium sebagai penyerahan harga diri atau sesuatu yang sakral (oh hebatnya doktrinasi film holywood) tapi aku masih bertanya-tanya, wanita-wanita cantik itu dibayar berapa oleh manajemen agar mau dicium Tukul Arwana.


No comments: